Kuliah Penyegaran dan Bedah Buku Hukum Administrasi Negara: Konsep Fundamental, Perkembangan dan Kasus

Kuliah Penyegaran dan Bedah Buku Hukum Administrasi Negara: Konsep Fundamental, Perkembangan dan Kasus

Kolase Foto: Team Promosi (AC)

 

Pengajaran Hukum Administrasi Negara selama ini dianggap terlalu teoritis.

Untuk mencapai tujuan bernegara, melalui penyelenggaraan pemerintahan, tidak bisa semata-mata mengandalkan penegakan hukum pidana. Mekanisme Hukum Hukum Administrasi seharusnya menjadi yang utama atau premium remedium dalam pengelolaan pemerintahan. Jangan setiap saat yang dikedepankan adalah pendekatan pidana. Penerapan hukum pidana untuk setiap kasus justru lebih mempunyai daya rusak terhadap penyelenggaraan pemerintahan.

Urgensi mengedepankan pendekatan hukum administrasi tersebut mengemuka dalam kuliah penyegaran sekaligus diskusi peluncuran buku Hukum Administrasi Negara yang berlangsung di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Rabu (20/3).

Ketua Kamar Tata Usaha Negara Mahkamah Agung 2016-2022, Supandi, berpendapat sudah waktunya pendekatan hukum administrasi diperlakukan sebagai premium remedium dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ia meminta aparat penegak hukum tidak mudah melakukan kriminalisasi terhadap tindakan pejabat.

“Tolong dipegang asas praduga keabsahan tindakan pejabat,” ujarnya dalam diskusi tersebut.

Asas praduga keabsahan tindakan pejabat atau presumtio justea causa bermakna tindakan atau keputusan seorang pejabat Tata Usaha Negara harus dianggap sah sampai ada keputusan lain yang secara hukum membatalkannya. Sering disebut juga sebagai asas rechtmatig, asas ini bermakna setiap tindakan penguasa selalu harus dianggap rechtmatig sampai ada pembatalannya.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Dian Puji Simatupang, mendukung pandangan Supandi. Menurut Dian, negara-negara hukum modern sudah menggunakan sarana hukum administrasi sebagai langkah awal.

Dengan kata lain, mekanisme hukum administrasi yang dimaksimalkan. Hanya negara-negara kuno yang masih mengedepankan pendekatan pidana lebih dahulu dalam penyelesaian kasus-kasus dalam penyelenggaraan pemerintahan. Spirit itu pula yang dibawa UUAP, yakni mengedepankan terlebih dahulu prinsip kemanfaatan bagi bangsa dan negara (doelmatigheid).

Supandi dan Dian Puji berpendapat lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) menciptakan budaya administrasi negara baru yang mengedepankan pendekatan administratif. Pejabat pemerintahan dilarang menyalahgunakan wewenang, dan dilaksanakan oleh aparat pengawasan intern pemerintah (APIP). Kontrol yuridis atas penilaian pengawaasan itu dilakukan pengadilan (Pasal 17-21 UUAP).

Menurut Dian Puji, UUAP menciptakan dua reformasi penting dalampraktik administrasi pemerintahan. Pertama, reformasi prosedur pemerintahan mengenai batas waktu yang jelas dan wajar bagi badan publik atau pejabat pemerintahan.

Misalnya, Pasal 20 ayat (4) UUAP menyebutkan jika hasil pengawasan APIP menemukan ada kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian keuangan negara maka dilakukan pengembalian kerugian keuangan negara tersebut paling lambat 10 hari kerja sejak diputuskan atau diterbitkannya hasil pengawasan.

Kedua, reformasi substansi mengenai kriteria dan lingkup alas fakta yang meyakinkan bagi badan atau pejabat pemerintahan, termasuk memperluas makna Keputusan Tata Usaha Negara, serta asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB).

Tersedianya upaya administratif juga merupakan mekanisme penting UUAP yang perlu ditempuh para pihak. Warga masyarakat yang dirugikan keputusan atau tindakan pejabat pemerintahan dapat mengajukan upaya administratif kepada pejabat pemerintahan atau atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan atau melakukan tindakan. Upaya administratif dapat berupa keberatan atau banding.

Supandi mengingatkan bahwa ada upaya administratif melalui badan pemerintahan itu sendiri, dan upaya administratif melalui lembaga-lembaga quasi-yudisial.

Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Richo A. Wibowo, menjelaskan penyusunan buku Hukum Administrasi Negara tak lepas dari upaya menjawab kritik yang disampaikan Adriaan Bedner. Dalam acara diskusi ‘Bagaimana Seharusnya Arah Pengembangan HAN ke Depan”, Januari lalu Bedner menyinggung pentingnya melihat bagaimana pengadilan memutus perkara-perkara yang berkaitan dengan HAN, sehingga yang diajarkan tidak melulu teori. Melihat peradilan sangat penting sebagai institusi penyeimbang kepentingan eksekutif dan manifestasi negara hukum.

“Perlu memutus mata rantai di mana pembelajaran HAN terlampau teoritis dan kurang menyajikan kasus,” ungkap Richo, yang juga editor buku Hukum Administrasi Negara yang diluncurkan.

Itu sebabnya, buku tersebut mengelaborasi puluhan putusan pengadilan yang tersebar dalam beberapa bagian. Ada putusan yang layak dikritik, ada pula putusan yang patut diapresiasi. Ketua Unit Riset dan Publikasi FH UGM, Yance Arizona mengatakan Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari seri publikasi bekerja sama dengan perusahaan penerbit komersial untuk mengembangkan pemikiran-pemikiran hukum di kampus Buluksumur.

Sumber: www.hukumonline.com

Add Comment

Pin It on Pinterest